Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hukum dan HAM

Senin, 02 Mei 2011

1. Pancasila sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar negara merupakan dasar pemikiran tindakan negara dan menjadi sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara pola pelaksanaanya terpancar dalam empat pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dan selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 sebagai strategi pelaksanaan Pancasila sebagai dasar negara.
Pokok pikiran pertama yaitu pokok pikiran persatuan yang berfungsi sebagai dasar negara (dalam kesatuan organis) merupakan landasan dirumuskannya wawasan nusantara, dan pokok pikiran kedua, yaitu pokok pikiran keadilan sosial yang berfungsi sebagai tujuan negara (dalam kesatuan organis) merupakan tujuan wawasan nusantara.
Tujuan negara dijabarkan langsung dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV, yaitu tujuan berhubungan dengan segi keamanan dan segi kesejahteraan dan tujuan berhubungan dengan segi ketertiban dunia.
Berdasarkan landasan itu maka wawasan nusantara pada dasarnya adalah sebagai perwujudan nilai sila-sila Pancasila didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Pancasila sebagai Pandangan Hidup
Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan kristalisasi nilai-nilai lihur yang diyakini kebenarannya. Perwujudan nilai-nilai luhur Pancasila terkandung juga dalam wawasan nusantara, demi terwujudnya ketahanan nasional. Dengan demikian ketahanan nasional itu disusun dan dikembangkan juga tidak boleh lepas dari wawasan nusantara.
Perwujudan nilai-nilai Pancasila mencakup lima bidang kehidupan nasional, yaitu bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan landasan, yang disingkat dengan (poleksosbud Han-Kam), yang menjadi dasar pemerintahan ketahanan nasional. Dari lima bidang kehidupan nasional itu bidang ideologilah yang menjadi landasan dasar, berupa Pancasila sebagai pandangan hidup yang menjiwai empat bidang yang lainnya.
Dasar pemikiran ketahanan nasional di samping lima bidang kehidupan nasional tersebut yang merupakan aspek sosial pancagatra didukung pula adanya dasar pemikiran aspek alamiah triagatra.

3. Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan kesatuan konsep-konsep dasar yang memberikan arah dan tujuan menuju pencapaian cita-cita bangsa dan negara. Cita-cita bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila itu terpancar melalui Alinea II Pembukaan UUD 1945, merupakan cita-cita untuk mengisi kemerdekaan, yaitu: bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Bersatu merupakan bekal untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur, dengan sistem berdaulat.
Cita-cita mengisi kemerdekaan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur harus diisi dengan pembangunan nasional, tanpa pembangunan nasional cita-cita bangsa untuk mengisi kemerdekaan tidak akan terwujud.

4. Pancasila, Hukum dan HAM
Perbincangan tentang HAM sebagai nilai-nilai kemanusiaan dalam perspektif Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang oleh Soekarno dikatakan sebagai “philosophische grondslag”. Karena itu, secara filosofis dan sosiologis, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, termasuk hukum yang terkait dengan HAM.
Apabila dicermati isi Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dapat dilihat bahwa pembentukan negara dan pemerintahan Indonesia bukanlah semata-mata suatu gejala revolusi rakyat Indonesia belaka, akan tetapi mempunyai tujuan tegas yang lebih jauh dan mendalam. Dari kalimat yang berbunyi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, ...”, sudah nyata bahwa ada hubungan pokok antara Pancasila dan hak-hak asasi manusia, khususnya hak asasi kemerdekaan segala bangsa. Sehubungan dengan itu, maka sifat dan hakekat HAM Indonesia adalah HAM yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yaitu nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial.
Sebagai perangkat nilai yang menjadi cita hukum (rechtsidee) masyarakat Indonesia sebagaimana dicetuskan awal mulanya oleh founding fathers kita dimana Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang kemudian hal ini telah dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan demikian, pembentukan produk hukum nasional maupun daerah baik yang bersifat pengaturan (regelling) maupun penetapan (beschiking) harus selalu dilandasi dengan sila-sila dalam Pancasila.
Produk Hukum Nasional
Produk Hukum Daerah
Regelling
Beschiking
Regelling
Beschiking
UU/Perppu
Keputusan Presiden
Perda Provinsi
Keputusan Kepala Daerah (Provinsi)
Peraturan Pemerintah
Instruksi Presiden
Perda Kabupaten/Kota
Keputusan Kepala Daerah (Kabupaten/Kota)
Peraturan Presiden
Keputusan Menteri
Peraturan Kepala Daerah
Instruksi Kepala Daerah
Peraturan Menteri
Instruksi Menteri
Peraturan Desa


Persoalan HAM adalah persoalan yang terkait dengan perhubungan antara manusia sebagai individu dengan masyarakatnya dan atau negara. Dalam konteks Pancasila, posisi individu tidak dapat dilepaskan dari individu lainnya dan juga masyarakatnya sebagai satu kesatuan sosial karena individu hanya akan berarti apabila dia berada dalam masyarakat. Berangkat dari hal ini maka subyek hukum HAM bukanlah semata-mata individu, tetapi juga masyarakat sebagai kolektivitas. Karena itu hak yang dimiliki oleh individu haruslah diselaraskan dengan kepentingan individu lain dan masyarakat yang juga secara kolektif mempunyai hak-hak tertentu. Dalam kerangka ini, maka batasan HAM adalah hak orang lain dan hak masyarakat sebagai kolektivitas yang wajib dihormati. Dikaitkan dengan hal ini, maka hak dan kebebasan yang dimiliki oleh individu akan selalu diimbangi dengan kewajiban yang harus ditunaikannya baik terhadap orang lain maupun masyarakatnya sebagai kesatuan kolektif. Singkatnya, HAM tidaklah dapat dipisahkan dari kewajiban.
Pancasila sebagai dasar negara yang berbunyi :
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
  3. Persatuan Indonesia;
  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan;
  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Tertuang dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, di dalamnya mengandung nilai-nilai HAM yang sifatnya universal dalam setiap sila-silanya. Sila Pertama tentang Ketuhanan yang Maha Esa, memberikan jaminan akan kebebasan kepada seseorang untuk memeluk suatu agama, dimana setiap agama mempunyai tempat hidup untuk diakui oleh negara. Pemerintah mempunyai komitmen untuk tidak menentukan agama tertentu sebagai agama negara. Sila Kedua, berkaitan dengan penghormatan terhadap kemanusiaan dan martabat manusia. Setiap manusia dilahirkan secara sama tanpa membedakan ras, etnis, agama, dan latar belakang budaya. Sila Ketiga, merefleksikan didalamnya adanya hal untuk menentukan nasib sendiri untuk membangun bangsa. Setiap bangsa haruslah dihormati kapasitasnya sebagai bagian dari keluarga bangsa-bangsa. Sila Keempat, merefleksikan di dalamnya adanya hak berdemokrasi, menyampaikan pendapat dan didengar pendapatnya, hak memilih, dipilih, dan sebagainya. Sila Kelima, berkaitan dengan hak hidup, hak atas pangan, papan, pekerjaan, dan pendidikan, dan sebagainya.
Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne¬gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah¬teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde¬kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan batang tubuh maupun penjelasan dari undang-undang dasar tersebut. Pancasila sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 sebagai bersifat terbuka dan merupakan rechts-idee dalam pembangunan tata hukum Indonesia, artinya bahwa pembentukan atau penyusunan peraturan perundang-undangan yang diperlukan dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat harus mendasarkan pada Pancasila.
Dalam bidang hukum dan HAM, nilai yang terkandung dalam ke lima asas Negara RI yang terwujud dalam Pancasila, terdapat 2 (dua) fungsi yaitu Fungsi Konstitutif dan Regulatif. Fungsi Konstitutif yakni yang menentukan dasar suatu tata hukum dan memberikan arti dan makna sebagai hukum. Sudah teramat jelas bahwa dengan mengacu kepada fungsi ini, maka dalam setiap proses perumusan ketentuan perundang-undangan, para perumus harus selalu menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai acuannya dan yang memberi kemungkinan bagi hukum untuk berfungsi sebagai :
a. as a tool of social engineering;
b. as a dispute resolution mechanism;
c. as a social control mechanism.
Fungsi Regulatif dirumuskan sebagai fungsi yang menentukan apakah suatu hukum positif bersifat adil atau tidak adil.
Sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial, hukum sepantasnya mengacu pada tujuan utama yang ditentukan, yang jika diterjemahkan melalui Pembukaan UUD 1945 adalah “masyarakat yang cerdas, adil dan makmur”. Merupakan konsekuensi logis apabila kemudian semua ketentuan perundang-undangan harus dapat dikembalikan kepada tujuan tersebut. Ketentuan perundang-undangan yang menyimpang darinya dengan demikian harus dikategorikan sebagai null and void. Dari uraian singkat ini selayaknya dapat dipahami bahwa ketentuan hukum pada dasarnya bukan hanya ditujukan bagi subyek yang berupa rakyat suatu negara, akan tetapi juga mengikat para penyelenggara kekuasaan negara yang tercemin dari konsep Negara berdasar atas Hukum dan bukan atas dasar kekuasaan.

5. Penghormatan, Pemajuan, Pemenuhan, dan Perlindungan HAM di Indonesia
Sejalan dengan prinsip Negara hukum (rechtsstaat) upaya untuk membentuk masyarakat madani Indonesia dengan menguatkan masyarakat sipil telah dan sedang dilakukan di Indonesia. Terwujudnya masyarakat madani tersebut akan sangat bergantung kepada beberapa prasyarat seperti perwujudan prinsip negara hukum, pelaksanaan demokrasi, dan perlindungan HAM. Sebagaimana telah diketahui secara luas, HAM merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan YME yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi demi harkat dan martabat manusia.
Setelah Orde Baru jatuh, muncullah Orde Reformasi yang lahir dari kehendak rakyat untuk melakukan reformasi total guna mengembalikan supremasi hukum, memberdayakan masyarakat sipil, dan penghormatan serta perlindungan HAM di Indonesia. Di Era Reformasi ini, penghormatan dan perlindungan HAM warga negara mengalami kemajuan yang amat pesat. Hal ini paling tidak dapat dicermati dari beberapa fakta berikut: pertama, diamandemennya UUD 1945 dengan merumuskan ketentuan mengenai HAM secara lebih rinci dan lengkap dalam Bab tersendiri yaitu Bab XA dan dibentuknya peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum perlindungan HAM. Kedua, Pembentukan kelembagaan yang mendorong peningkatan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM, seperti penguatan Komnas HAM, pembentukan komisi-komisi negara, dan penguatan institusi peradilan. Ketiga, Peratifikasian instrumen-instrumen HAM internasional sehingga kemudian menjadi bagian hukum nasional. Keempat, Mengadili para pelanggar HAM. Kelima, Perumusan kebijakan nasional tentang penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM melalui Rencana Aksi Nasional HAM yang dilaksanakan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Sejalan dengan prinsip perlindungan HAM tersebut, maka perubahan UUD 1945 dianggap sebagai sesuatu yang niscaya, dan perubahan UUD 1945 itu sendiri dapat dikatakan sebagai puncak aspirasi gaerakan reformasi itu sendiri. Setelah perubahan kedua UUD 1945 pada Tahun 2000, ketentuan mengenai HAM dan hak warga Negara dalam UUD 1945 mengalami perubahan yang signifikan. Materi tentang ketentuan dasar tentang HAM dalam UUD 1945 dimuat dalam Pasal 28A ayat (1) sampai dengan Pasal 28J. Ketentuan dalam Pasal 28 tersebut jika dirinci butir demi butir, mencakup 47 prinsip-prinsip dasar, seperti hak untuk hidup, hak membentuk keluarga, hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, hak bebas berserikat, hak bebas mengeluarkan pendapat, dan sebagainya. Dalam rangka menegakkan butir-butir ketentuan HAM tersebut, diatur pula mengenai kewajiban setiap orang untuk menghormati hak asasi orang lain serta tanggung jawab Negara atas tegaknya HAM. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 ditegaskan: “ Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Di samping itu, dalam Pasal 28J ayat (2) juga ditegaskan: “Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Berbagai ketentuan yang telah dituangkan dalam rumusan UUD Negara RI Tahun 1945 tersebut merupakan substansi yang berasal dari rumusan Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian menjelma menjadi materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Karena itu, untuk memahami substansi yang diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945, kedua instrument tersebut perlu dipelajari dengan seksama. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang HAM yang telah diadopsi ke dalam sistem hukum nasional Indonesia berasal dari konvensi-konvensi internasional, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta berbagai instrument hukum internasional lainnya.

6. Pengaturan HAM di Indonesia
Terdapat berbagai sumber hukum sebagai dasar hukum dalam upaya untuk menghormati, memajukan, memenuhi, dan melindungi HAM warga negara Indonesia, yaitu:
• Instrumen HAM internasional;
• Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945;
• KUHP dan KUHAP;
• Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM;
• Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
• Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM;
• Berbagai UU sektoral terkait.
Melihat berbagai dasar hukum tersebut maka dapat disimpulkan bahwa HAM di Indonesia telah sedikit banyak terjamin baik dalam konstitusi (primary rule), yang berarti juga menjadi constitutional rights, maupun dalam undang-undang serta peraturan di bawahnya (secondary rule), yang berarti menjadi legal rights. Pancasila sebagai norma dasar (groundnorm) yang termaktub dalam UUD 1945 merupakan kerangka dasar pengaturan HAM yang kemudian dilaksanakan lebih lanjut dalam berbagai peraturan hukum di bawahnya secara lebih operasional.
Peraturan perundang-undangan dapat dikatakan sebagai payung dalam pengaturan HAM di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM) yang disahkan pada tanggal 23 September 1999. Dalam Undang-Undang tersebut, HAM didefinisikan:
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” (Pasal 1 angka 1)
Dari rumusan tersebut terlihat bahwa dalam hukum positif Indonesia, HAM dipahami sebagai hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai anugerah Tuhan YME. Dengan demikian, pengaturan hukum hanya sebagai legalitas hak tersebut agar dalam pelaksanaan perwujudan dan perlindungan HAM tersebut mempunyai dasar kepastian hukum.
Dalam UU HAM tersebut dicantumkan ada 11 kelompok hak yang dirinci dalam 89 jenis hak yang diakui, dihormati, dan dilindungi. Kesebelas kelompok hak tersebut adalah:
• hak untuk hidup;
• hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
• hak mengembangkan diri;
• hak memperoleh keadilan;
• hak atas kebebasan pribadi;
• hak atas rasa aman;
• hak atas kesejahteraan;
• hak turut serta dalam pemerintahan;
• hak-hak wanita;
• hak-hak anak.
Rumusan butir-butir HAM dalam UU HAM tersebut meliputi baik hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi social dan budaya, maupun hak atas pembangunan. Di samping itu pula dirumuskan pula bahwa HAM tidak hanya dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kolektifitas, yaitu masyarakat.
Sebagai sebuah hak yang dimiliki oleh manusia Indonesia, maka pelaksanaan hak tersebut menurut UU HAM, tidaklah berdiri sendiri, tetapi selalu berdampingan dengan kewajiban dasar yang harus ditunaikannya agar pelaksanaan hak tersebut tidak mengakibatkan terlanggarnya hak asasi pihak lain baik secara perorangan maupun kolektif (masyarakat). Sejalan dengan itu, dalam Pasal 69 ayat (2) UU HAM ditegaskan: “Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara bertimbal balik, serta …”. Lebih lanjut, apabila dicermati rumusan Pasal 67, Pasal 69 ayat (1), dan Pasal 70, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan HAM setiap orang akan selalu dibatasi oleh berbagai kewajiban untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis, hukum internasional tentang HAM yang telah diratifikasi Indonesia, hak asasi manusia orang lain, moral, etika, keamanan dan ketertiban umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sebagai negara yang telah menjujung tinggi HAM sejak berdirinya dan sampai saat ini, Indonesia telah menunjukkan komitmennya untuk menerapkan nilai-nilai HAM guna mencapai keamanan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Bangsa yang beradab dilandasi dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertera pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut UU HAM, penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, serta pemenuhan HAM terutama menjadi kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah (Pasal 8 jo. Pasal 71 UU HAM), di mana hal ini sejalan dengan komitmen Negara RI yang dalam Pasal 2 UU HAM yang mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan, serta keadilan. Kewajiban tersebut menurut Pasal 72 UU HAM diwujudkan dengan mengambil langkah-langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan kemanan, dan bidang-bidang lainnya. Namun demikian, dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban Pemerintah tersebut, dengan mengingat keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta antara hak-hak seseorang dengan orang lain serta hak-hak masyarakat, maka pada prinsipnya, terhadap hak-hak asasi yang dimiliki oleh warga Negara RI dalam pelaksanaannya boleh dibatasi.
Namun demikian menurut Pasal 73, pembatasan terhadap HAM masih dimungkinkan sepanjang memenuhi persyaratan berikut:
• dilakukan/didasarkan melalui undang-undang, dan
• semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Yang dimaksud dengan kepentingan bangsa menurut penjelasan Pasal 73 adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.
Namun demikian, tidak semua jenis HAM dapat dibatasi melalui cara-cara tersebut, karena ada beberapa jenis HAM yang sama sekali tidak boleh dilakukan pembatasan terhadapnya dalam situasi dan kondisi apapun (non derogable rights). Dalam UU HAM ada beberapa jenis HAM yang sama sekali tidak diperbolehkan untuk dilakukan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU HAM, yaitu:
  1. hak untuk hidup;
  2. hak untuk tidak disiksa;
  3. hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani;
  4. hak beragama;
  5. hak untuk tidak diperbudak;
  6. hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum;
  7. hak untuk tidak dituntut hukum yang berlaku surut.
Dengan adanya perangkat hukum baik dalam arti peraturan perundang-undangan dan sumberdaya manusia pendukung sebagai pelaksana dan penegak peraturan dimaksud diharapkan bahwa Indonesia menjadi negara yang berkeadilan dan berperikemanusiaan dan beradab, menjadi manusia yang seutuhnya.

7. Penegakkan HAM di Indonesia
Terkait dengan tugas perlindungan HAM, maka kewajiban Negara adalah melakukan investigasi, mengadili pelaku, dan menghukumnya bila terbukti bersalah. Di samping itu, Negara bertanggung jawab untuk memberikan santunan/rehabilitas/kompensasi kepada para korban pelanggaran HAM. Dengan demikian, pengadilan HAM diperlukan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Menurut UU HAM, dalam Pasal 1 angka 6, yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah:
“setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”
Pengadilan HAM tersebut, menurut Pasal 104 ayat (1) UU HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dan berkedudukan di lingkungan Peradilan Umum.
Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal ini, maka kemudian pada tanggal 23 November 2000 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kewenangan Pengadilan HAM sebagaimana ditegaskan dalam rangkaian Pasal 4, 5 dan 6 UU Pengadilan HAM, yang intinya adalah bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus:
a. perkara pelanggaran HAM berat, dan
b. pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah Negara RI yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia.
Namun demikian, Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Sementara itu, pelanggaran HAM berat yang dimaksud dalam UU Pengadilan HAM meliputi (a) kejahatan genosida; dan (b) kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut Pasal 8 UU Pengadilan HAM, kejahatan genosida adalah:
“setiap perbuatan yang dilakukan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: (a) membunuh anggota kelompok; (b) mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; (c) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; (d) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau (e) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.”

Sedangkan, yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) menurut Pasal 9 UU Pengadilan HAM adalah :
“salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan (c) perbudakan; (d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; (e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; (f) penyiksaan; (g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; (h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin. Atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; (i) penghilangan orang secara paksa; (j) kejahatan apartheid.
Hukum acara yang digunakan untuk penyelesaian perkara pelanggaran HAM, pada prinsipnya adalah KUHAP. Dalam Pasal 10 UU Pengadilan HAM ditegaskan bahwa: “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan berdasarkan KUHAP”. Dalam ketentuan menyangkut hukum acaranya, UU Pengadilan HAM mengatur beberapa kekhususan, antara lain : kewenangan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh KOMNAS HAM; kewenangan Jaksa Agung untuk menangkap dan menahan, batasan-batasan waktu penahanan dalam perkara pelanggaran HAM berat mulai pada tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, sampai kepada pemeriksaan di tingkat banding, dan di tingkat kasasi, dan sebagainya.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 23 November 2000, dan menurut Pasal 43 ayat (1) ditegaskan bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk dengan Keppres atas usul DPR.

0 komentar:

Posting Komentar